MerantiNEWS EMI (Editorial Media Indonesia) - POHON yang semestinya berfungsi sebagai sahabat telah berubah menjadi musuh menakutkan bagi warga Ibu Kota. Setiap kali hujan badai, Jakarta dibuat kalang kabut dan porak-poranda.
Sebanyak 87 pohon tumbang dan 82 lainnya sempal saat Jakarta dilanda hujan deras dan puting beliung selama 2 jam, Kamis (5/1). Seorang warga tewas akibat peristiwa itu. Kemacetan masif terjadi berjam-jam dan kerugian material diperkirakan mencapai Rp270 miliar.

Peristiwa itu bukan yang pertama. Pohon-pohon tumbang yang menimpa kendaraan, bangunan, dan manusia saat badai merupakan malapetaka yang terus berulang. Yang terjadi pekan lalu itu agaknya belum akan menjadi yang terakhir. Karena, sumber malapetaka itu masih ada dan belum diatasi secara tuntas oleh Pemda DKI Jakarta.
Data Dinas Pertamanan dan Permakaman DKI Jakarta menyebutkan Jakarta masih memiliki 21 ribu pohon tua. Dari jumlah itu, menurut hasil penelitian terakhir pada 2010, ada 1.800 pohon rawan tumbang dan memerlukan penanganan ekstra. Artinya, kalau 87 pohon yang tumbang pekan lalu merupakan bagian dari 1.800 pohon rawan itu, maka masih ada 1.713 pohon lagi yang berpotensi menimbulkan malapetaka berikutnya.
Selain tua, pemilihan jenis pohon-pohon itu juga tidak tepat dalam jangka panjang. Sebagian besar pohon di Jakarta berjenis angsana. Spesies itu memang tumbuh lebih cepat dan membuat Jakarta terlihat lebih hijau dan rimbun. Akan tetapi, dahan pohon itu getas dan tidak berakar kukuh. Karena hanya ditanam setek, bukan bijinya sehingga mudah tercerabut saat ada angin badai.
Semua fakta itu sudah diketahui sejak lama. Untuk mencegah pohon-pohon itu bertumbangan dan menimbulkan malapetaka, para ahli merekomendasikan agar pohon-pohon itu dirawat dengan disiplin, yaitu dahannya dipangkas dan batangnya ditebang secara teratur. Dalam jangka menengah dan panjang juga harus dilakukan penggantian jenis pohon dari angsana menjadi mahoni, tanjung, asam, keben, pepagan trengguli, dan pule.
Pemda DKI Jakarta melaksanakan rekomendasi itu, tetapi lambat dan tidak menganggapnya urgen. Sehingga perawatan dan penggantian jenis pohon dilakukan sekenanya. Bukan dengan disiplin dan semangat memprioritaskan keselamatan publik.
Gubernur DKI juga abai terhadap standar keselamatan dalam pemasangan billboard dan baliho di ruang publik. Akibatnya, ketika hujan badai, ada baliho yang jatuh menimpa dan menewaskan warga Jakarta.
Pelajaran mahal pekan lalu harus membuat Pemda DKI koreksi diri dan mengoptimalkan disiplin sesuai rekomendasi para ahli. Bukan mencari kambing hitam, kembali menyalahkan datangnya angin yang terlalu kencang.