HAMPIR setiap tahun, bahkan setiap semester, papan-papan pengumuman di kampus menginformasikan tentang penyediaan beasiswa dari beberapa instansi dan lembaga yang bekerja sama dengan pihak kampus.
Tipologi beasiswa pun bermacam-macam, ada yang disediakan bagi mereka yang katanya tergolong miskin dan ada juga beasiswa yang disediakan untuk mahasiswa yang katanya berprestasi.

Problem Distribusi
Pada umumnya, distribusi beasiswa kampus memakai slogan siapa cepat, dia dapat. Oleh karena itu, cara mendapatkannya pun harus berebut. Dan juga, bukan mustahil jika ada kongkalikong antara pihak calon penerima beasiswa dengan pihak birokrat kampus. Sebut saja mereka yang mempunyai koneksi dan kenalan pihak birokrasi akan cepat dilayani dan dibantu supaya mendapatkan beasiswa.
Hal ini, tanpa memperhitungkan pantas atau tidaknya seorang mahasiswa mendapatkan beasiswa. Cara-cara tidak elegan semacam ini, seringkali terjadi dalam birokrasi kita.
Bahkan juga tidak dapat dimungkiri jika di dalam klausul antarmereka ada sistem bagi hasil jika beasiswanya cair. Tindakan-tindakan curang ini diperparah dengan eksekusi mahasiswa yang seringkali tidak membelanjakan uang beasiswanya untuk keperluan pendidikan. Namun, mereka lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan yang bersifat hedonis-pragmatis, seperti shopping, jalan-jalan dan lain sebagainya.
Lebih ironis lagi, hal ini seringkali kental dan identik dengan kriminalitas. Kenapa demikian? Karena sejauh ini, kebanyakan mahasiswa yang mendapat beasiswa adalah orang mampu. Sementara yang ia dapatkan adalah beasiswa bagi yang tidak mampu, dan untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) pun menjadi hal wajib. Dari sinilah, tindakan amoral itu dimulai. Dengan cara yang sederhana, yakni tinggal merendahkan harga diri dan berpura-pura miskin di hadapan pihak RT, RW dan kelurahan, serta memberi uang pelicin yang diasumsikan sebagai uang ucapan terima kasih, SKTM pun jadi.
Bukan hanya itu saja, masih ada modus operandi penipuan pembuatan SKTM yang lain. Pada era sekarang ini, pemalsuan dokumen merupakan pekerjaan yang mudah. Bagaimanapun, membuat SKTM secara swadaya bukanlah hal yang sulit. Stempel kelurahan sebagai tanda legalisir pun bisa dibuat dengan mudah, banyak tukang stempel yang tersebar. Atau, kalaupun tidak mau mengeluarkan modal besar, tinggal dipindai saja stempel dari SKTM orang lain.
Tak hanya itu, kasus penipuan dalam mendapatkan beasiswa pun beragam modusnya, terutama yang disediakan bagi mahasiswa lulusan S1 yang ingin melanjutkan ke jenjang pascasarjana.
Sejauh penelusuran penulis, pemerintah menyediakan biaya bantuan pendidikan dan juga biaya bantuan studi berikut persyaratannya. Dalam salah satu persyaratan itu, calon pendaftar berhak mengajukan dengan syarat mempunyai surat keterangan (SK) yang menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah salah satu pengajar (dosen) di kampus tertentu.
Untuk melengkapi persyaratan tersebut, tidak jarang seorang calon pendaftar penerima beasiswa mengambil jalan pintas dengan bekerja sama dengan salah satu kampus (oknum kampus) untuk mengeluarkan SK dosen. Walaupun pada kenyataannya, dia belum pernah mengajar atau bukan dosen di kampus tersebut.
Bukankah ini sebuah pembohongan? Pertanyaannya, mengapa hal ini nyaris tidak tercium, atau bahkan sengaja dibiarkan? Mungkin jawabannya, karena kecurangan ini bersifat kolektif-sistemik. Mulai dari mahasiswa, dosen hingga tingkat birokrat, nyaris semuanya pernah melakukan kecurangan serupa. Meski ada yang mengecam, namun itu hanya berlaku karena ia tidak ikut terlibat. Coba saja jika mendapat bagian, pasti ia akan diam seribu bahasa.
Kejahatan Intelektual
Sungguh, sebuah tradisi yang memilukan bagi bangsa yang dikenal menjunjung tinggi kejujuran. Kasus di atas, jelas sebuah potret yang menggambarkan betapa sulitnya menjadi pintar di negeri ini. ’’Ingin pintar, berbuatlah curang’’. Mungkin itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan fenomena tersebut.
Jean Baudrillard, salah satu filsuf Prancis jauh-jauh hari sudah memotret tipologi kejahatan yang sistematis dan terorganisasi seperti kasus kejahatan ala para intelektual sebagai kejahatan yang sempurna (the perfect crime). Begitulah dia menyebutnya. Sebuah tindak kejahatan yang sudah tertata rapi, terkontrol dan tersembunyi sehingga tidak tercium bau busuknya. Salah satu tindak kriminal yang tampil dengan wajah yang berbeda pada umumnya. Inilah yang disebut sebagai post-kriminalitas.
Tindakan kriminal yang sudah kehilangan garis demarkasinya. Karena bukan lagi penjahat, perampok dan kroni-kroni lainnya yang menjadi promotor dan aktornya. Melainkan, para intelektual (civitas academica kampus) yang selama ini dipercaya sebagai ladang moral para generasi bangsa.
Dari kasus di atas, bisa diidentifikasi bahwa pelaku kejahatan adalah mereka kelas elite intelektual kampus yang sebenarnya harus bersih dari stereotip tersebut. Entah, apa yang membuat mereka melakukan hal tersebut? Benarkah karena sebuah keterpaksaan? Ataukah memang sudah sebuah kewajaran? Alasan apa pun yang diajukan, bagi kaum awam, seperti penulis, cara-cara tersebut merupakan perbuatan yang tidak bisa diamini karena menyakiti hati nurani rakyat lain yang selama ini terus dikebiri. Siapa yang salah atas semua ini?
Tampaknya, tidak perlu mencari siapa yang salah. Namun demikian, melalui tulisan ini, penulis sebagai mahasiswa yang pernah menerima beasiswa berharap kepada semua civitas academica kampus beserta stake holder lainnya dan juga pihak-pihak terkait untuk melakukan introspeksi dan pengecekan kembali terhadap aturan-aturan atau melakukan deregulasi, agar distribusi beasiswa tersalurkan kepada mereka yang paling berhak dan pantas menerimanya. (24)