MerantiNEWS - Kini Rakyat Indonesia sudah menuntut pemerintah untuk bersikap tegas dalam men-sikapi segala bentuk pelanggaran kedaulatan dan pelecehan terhadap harga diri bangsa yang dilakukan oleh negara manapun.
Saat ini Malaysia yang mengaku sebagai negara serumpun, dan sudah bertindak tidak pantas sebagai negara tetangga, tetapi lebih pantas dan layak disebut sebagai negara tetangga perompak dan bangsa perampok yang mencoba mencaplok wilayah NKRI. Setelah mereka sukses merampok budaya, dan mencamplok wilayah NKRI, pulau Sipadan dan Ligitan dengan memanfaatkan situasi pancaroba politik dan kekuasaan yang terjadi pasca reformasi.
Ketegasan pemerintah dalam berdiplomasi untuk menyelesaikan sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia sangat dibutuhkan dengan tidak bersikap kompromi dalam mempertahankan setiap jengkal wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kekuatan diplomasi dan kekuatan bangsa dapat dilakukan dalam melakukan diplomasi seperti: dengan menghentikan pengiriman TKI, memboikot seluruh produk Malaysia dan melakukan Nasionalisasi Assets Malaysia di Indonesia dan banyak cara lainnya yang bisa digunakan sebagai alat negosiasi dan diplomasi bangsa.
Kita bisa belajar bagaimana Bapak Proklamator Bangsa Indonesia yang juga Presiden Pertama kita Ir. Soekarno; melakukan diplomasi politik dengan Malaysia dengan mengkumandangkan ”Ganyang Malaysia” pada tahun 1960-an, malah kalau perlu berperang. Bukan dengan melakukan Moratorium pengiriman TKI dan memberikan Medali Penghargaan Tinggi Negara kepada salah satu yang dipertuan Agung Malaysia.
Bila kita belajar dari sejarah bangsa kita, Presiden Pertama NKRI Ir. Soekarno saat itu; mengambil langkah ” konfrontasi ” pada 20 Januari 1963 dan mengeluarkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963, dan ternyata sangat efektif untuk menghentikan langkah dan menundukkan Malaysia.
Menilik sejarah, kenapa Presiden Soekarno saat itu melakukan ”Ganyang Malaysia”, Ir. Soekarno saat itu sangat marah dan terganggu Nasionalisme dan Kebangsaan-nya ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Insiden itu membuat Bung Karno murka. Ia pun berpidato:
”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.”
”Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.”
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.”
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Dengan sikap pemerintah dan rakyat Malaysia yang tidak bersahabat seperti saat ini dengan: telah mencaplok Pulau Sipadan dan Ligitan, mencuri budaya dan kekayaan negara kita yang mereka akui sebagai budaya mereka, dan sekarang mencoba mencaplok wilayah RI di Camar Bulan dan Tanjung Datu sudah selayaknya dan sepantasnya, Bangsa dan Rakyat Indonesia untuk memberikan pelajaran lanjutan atau tahap ke-2 kepada negara tetangga tersebut.