Editorial Media Indonesia

Mengubah Jakarta Jadi Beradab


MerantiNEWS EMI (Editorial Media Indonesia) - PENDAFTARAN pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tadi malam pukul 24.00 WIB resmi ditutup. Mulai hari ini Komisi Pemilihan Umum Jakarta memverifikasi untuk menentukan siapa yang berhak bertarung dalam pemilihan pada 11 Juli mendatang. 

Antusiasme pasangan calon, baik dari jalur independen maupun partai politik, patut diberi apresiasi yang tinggi. Mereka berani menjadi pemimpin Jakarta yang sesungguhnya merupakan samudra persoalan. 

Persoalan yang melilit Jakarta kompleks, mulai yang supermodern seperti kesemrawutan yang ditimbulkan supermal dan busway sampai superkolot seperti gelandangan dan sampah yang menyumbat selokan. 

Semua persoalan Jakarta itu bermuara pada satu masalah yang sangat mendasar, yaitu pemimpin yang tidak memerintah dan menata kota secara baik dan benar. Itulah sebabnya warga Ibu Kota menyambut gembira para calon pemimpin, tidak soal apakah calon itu diimpor dari daerah lain. 

Warga Jakarta tentu saja tidak membutuhkan janji-janji muluk para calon gubernur dan wakil gubernur, apalagi kalau ada calon yang mengklaim diri sebagai ahlinya untuk mengatasi persoalan Jakarta. Jakarta membutuhkan pemimpin yang mampu mengatasi setidaknya tiga persoalan utama, yaitu banjir, macet, dan rasa aman. 

Setiap musim hujan, sedikitnya 60% wilayah Jakarta direndam banjir. Penyebab utama banjir ialah sampah yang menyumbat selokan dan air kiriman dari Bogor. Setiap pemimpin Jakarta mengetahui penyebabnya, tetapi tidak mau berbuat sesuatu, bukan tidak mampu berbuat. 

Kemacetan di Jakarta telah menjelma menjadi monster yang memangsa pemakai jalan raya. Para ahli memprediksi kerugian yang diderita seluruh warga Ibu Kota bisa mencapai hingga sekitar Rp28 triliun per tahun akibat kemacetan. 

Total kerugian warga itu dapat dibagi menjadi beberapa sektor, seperti kerugian akibat bahan bakar, kerugian waktu produktif warga, kerugian pemilik angkutan umum, dan kerugian kesehatan. Jumlah kerugian yang paling besar tentu saja bahan bakar yang bisa menghabiskan hingga Rp10,7 triliun per tahun. 

Jakarta menjadi contoh nyata tentang derasnya pembangunan yang tidak berkontribusi banyak bagi keamanan dan kenyamanan warga. Rasa aman dan nyaman menjadi hal supermewah sebab warga dibiarkan larut dalam rasa cemas oleh kasus perampokan, perkosaan, dan penembakan. 

Bayangkan saja, Indonesia Police Watch (IPW) memperkirakan sekitar 8.000 senjata api ilegal beredar di wilayah Jakarta yang setiap saat bisa merenggut nyawa warga. 

Jakarta tumbuh dalam paradoks. Inilah ibu kota negara dengan penduduk terbesar, tetapi terkumuh. Lebih dari 70% uang yang beredar di Indonesia berada di Jakarta, tetapi di Jakarta berkumpul manusia miskin dan pengemis paling banyak. 

Jakarta menanti pemimpin yang mampu mengubahnya menjadi ibu kota yang beradab.