MerantiNEWS EMI (Editorial Media Indonesia) - SEKRETARIAT gabungan partai pendukung pemerintahan Yudhoyono-Boediono kian mempertontonkan diri sebagai koalisi yang tak solid dan efektif. Terakhir, setgab berbeda pendapat soal keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolak kebijakan penaikan harga BBM, sedangkan Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersikap menggantung.
Baru Partai Demokrat yang mendukung kebijakan itu. Adapun Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa, meski sikap mereka belum diketahui, arahnya amat jelas akan mendukung kebijakan itu.
Secara ekonomi, pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM di tengah harga minyak dunia yang fluktuatif dan cenderung meroket. Jika harga BBM bertahan, anggaran pendapatan dan belanja negara bakal kian jebol. Itulah sebabnya, dalam APBN-P 2012 pemerintah mengajukan penaikan harga premium sebesar Rp1.500.
Partai koalisi semestinya bulat mendukung kebijakan penaikan harga BBM. Tidaklah elok dan hanya menghabiskan energi bila partai koalisi bersikap menggantung apalagi menentang kebijakan.
Akan lebih elok bila partai koalisi menggunakan energi untuk membahas kebijakan kompensasi secara sungguh-sungguh agar mengurangi dampak penaikan harga BBM pada rakyat. Jika perbedaan pendapat di partai koalisi berlangsung hingga rapat paripurna yang membahas APBN-P 2012, bukan tidak mungkin penaikan harga BBM urung terjadi.
Sebab, pemerintah tidak hanya kalah menghadapi penolakan dari PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura, tetapi ironisnya juga dikalahkan oleh sejumlah partai anggota koalisi. Partai koalisi yang menentang penaikan harga BBM, sejatinya sama saja dengan musuh dalam selimut.
Bukan dalam perkara harga BBM ini saja partai koalisi tidak satu suara. Sebelumnya, partai koalisi pecah antara lain dalam perkara Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, pembentukan Panja Mafia Pajak, serta perpanjangan masa kerja Tim Pengawas Bank Century.
Koalisi adalah keniscayaan dalam sistem politik multipartai yang gagal menghasilkan partai mayoritas. Koalisi pendukung SBY-Boediono bukanlah koalisi ideal yang dibangun atas kesamaan ideologis. Koalisi yang terjadi koalisi ganjil yang dibangun di atas kepentingan sesaat, yakni kekuasaan.
Bagi Partai Demokrat, kepentingan sesaat itu ialah memperkuat kekuasaan. Bagi partai-partai lain, kepentingan sesaat itu ialah mendapat jatah kekuasaan, khususnya kursi kabinet.
Oleh karena berdiri di atas basis kekuasaan, perpecahan di tubuh partai koalisi bakal berlanjut dalam soal Undang-Undang Pemilu Legislatif dan Undang-Undang Pemilu Presiden karena partai koalisi mempertaruhkan kepentingan masing-masing untuk Pemilu 2014.
Itu artinya, makin mendekati pemilu, makin besar perpecahan partai koalisi. Bisa dipastikan, pada Pemilu 2014 setgab partai koalisi pendukung SBY-Boedinono bubar dan meninggalkan sejarah buruk dalam perpolitikan Indonesia.
Sejarah buruk, karena partai koalisi itu senang dengan kekuasaan yang diperoleh di kabinet, tetapi ogah memikul tanggung jawab.