Meranti_NEWS EMI (Editorial Media Indonesia) - SALAH satu tugas penting sebuah pemerintahan ialah menghadirkan kepastian. Tanpa hadirnya kepastian, baik kepastian hukum, kepastian berusaha, maupun kejelasan kebijakan, pada hakikatnya sebuah negara itu sama dengan tidak memiliki pemerintahan.
Tragisnya, kondisi seperti itulah yang kini dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia. Contoh paling gamblang ialah pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kebijakan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan anggaran negara agar tidak jebol itu terus maju-mundur, tak kunjung ditetapkan, bahkan mulur-mungkret hingga tujuh kali sejak 2010.
Konsep pertama yang digulirkan ialah dengan smart card, yaitu pembatasan berdasarkan angkutan umum dan mobil pribadi. Lalu muncul konsep pembatasan berdasarkan kapasitas mesin, tahun pembuatan kendaraan, hingga melarang semua kendaraan pribadi mengonsumsi premium, tetapi semuanya nihil dilaksanakan.

Nasib serupa terjadi lagi terkait dengan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil pribadi berdasarkan kapasitas silinder mesin (cylinder capacity/CC). Dalam sepekan terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menggulirkan wacana hanya mobil di bawah 1.500 cubic centimeter (cc) yang boleh mengonsumsi BBM bersubsidi.
Mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas wajib menggunakan BBM nonsubsidi. Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan menyebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengumumkan kebijakan itu pada 24 April 2012.
Namun, tanggal 24 April kita lewati tanpa ada keputusan soal kebijakan pembatasan BBM itu dari Presiden. Yang ada konferensi pers Menko Perekonomian yang menyebutkan segala opsi pengendalian BBM bersubsidi masih didalami dan akan diumumkan pada waktu yang tepat, entah kapan.
Publik pun makin dibuat bingung oleh beragam wacana yang dilemparkan pemerintah tanpa ada satu pun yang dieksekusi. Padahal, siapa pun mestinya sadar betul, ongkos ketidakpastian berimplikasi ke mana-mana.
Bagi pemerintah, ketidakpastian akan menaikkan anggaran subsidi setidaknya Rp5 triliun tiap bulan. Anggaran subsidi BBM dan listrik yang dialokasikan di APBN-P 2012 sebesar Rp202 triliun bahkan bisa meledak hingga Rp340 triliun bila kegamangan sikap itu dipelihara.
Bagi rakyat, ketidakpastian itu akan menimbulkan spekulasi, termasuk memicu inflasi yang ditimbulkan dampak psikologis terkait dengan BBM.
Pemerintah mestinya paham postulat yang menyebutkan ketidakpastian melahirkan kekacauan. Kalau keraguan dan ketidakpastian terus dirawat, amat mungkin masyarakat akan bertindak sendiri-sendiri, investor pergi, lalu kesejahteraan rakyat pun makin jauh panggang dari api.
Kebijakan soal BBM yang mulur-mungkret itu memang benar-benar membingungkan rakyat.